Kekerasan Masih Terjadi di Myanmar, Dilaporkan ada Sedikitnya 8 orang Meninggal Akibat Kekerasan terhadap Demonstran

Mandalay Sedikitnya delapan orang terbunuh di Myanmar setelah pasukan keamanan mengeluarkan tembakan terhadap sejumlah massa unjuk rasa terbesar menentang kekuasaan militer dalam beberapa hari terakhir, tiga bulan setelah kudeta mendorong negara itu jatuh dalam kekacauan politik.

Ribuan orang, di daerah dan kota-kota seluruh negeri, bergabung dalam unjuk rasa Minggu menyerukan "Revolusi Musim Semi Myanmar Global". Kampanye mendukung unjuk rasa anti kudeta juga berlangsung di luar Myanmar, saat Paus Fransiskus menyerukan perdamaian.

"Guncangkan dunia dengan suara persatuan rakyat Myanmar," kata penyelenggara demonstrasi dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Al Jazeera, Senin (3/5).

Dua orang ditembak dan tewas di Mandalay, menurut kantor berita Mizzima.

Situs berita The Irrawaddy sebelumnya mengunggah sebuah foto seorang pria yang disebut merupakan petugas keamanan berpakaian biasa mengeluarkan tembakan di Mandalay.

Tiga orang tewas di pusat kota Wetlet, seperti dilaporkan Myanmar Now, dan dua orang terbunuh di dua daerah di negara bagian Shan. Satu orang juga tewas di daerah tambang rubi di Hpakant, menurut Kachin Information Group.

Reuters tidak bisa memberifikasi laporan-laporan tersebut dan seorang juru bicara pemerintah tidak mengangkat telepon untuk dimintai komentar.
Di Yangon, anak-anak muda berkumpul di sebuah sudut jalan sebelum berbaris ke jalan-jalan, dan segera membubarkan diri setelahnya untuk mencegah bentrokan dengan pihak berwenang.

"Melengserkan kediktatoran militer adalah tujuan kami!" teriak mereka sembari melambaikan hormat tiga jari sebagai tanda perlawanan.

Di negara bagian Shan, anak-anak muda membawa spanduk bertuliskan: "Kami tidak bisa diperintah sama sekali".

Ledakan bom juga dilaporkan di sejumlah wilayah berbeda di Yangon pada Minggu. Ledakan terjadi dengan frekuensi meningkat dan pihak berwenang menyalahkan "penghasut".

Belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas ledakan tersebut.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), yang memantau situasi, mengatakan pasukan keamanan telah membunuh sedikitnya 765 pengunjuk rasa sejak kudeta, sementara sebanyak 4.609 telah ditangkap. Militer, yang menyebut AAPP organisasi ilegal, mengakui sebanyak 258 pengunjuk rasa yang tewas, bersama 17 polisi dan tujuh tentara.

Demo untuk mendukung gerakan anti kudeta juga terselenggara di berbagai kota di sejumlah negara, dari Taipei sampai Vancouver dan London di mana politikus Hong Kong, Nathan Regulation yang mengasingkan diri mendukung unjuk rasa tersebut.

"Kita perlu memobilisasi sistem global kita untuk menghukum para diktator dan menghentikan mereka membunuh orang-orang," jelasnya.

"Kita perlu sebuah pemerintah yang melayani rakyat, bukan meneror mereka. Kita perlu para pemimpin yang memimpin kita, bukan meminta kita tunduk pada mereka."

Sementara itu di Roma, Paus Fransiskus berdoa selama misa Minggu di St Peter Square agar Myanmar bisa "berjalan di jalur pertemuan, rekonsiliasi, dan perdamaian".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Jembatan Bernama Ngantru di Ngawi Patah, Jalur yang Menghubungkan Bojonegoro-Ngawi Terputus Total

Satgas Covid-19 Masih Terus Investigasi Sumber Penularan Kasus Omicron Pertama di Tanah Air