Beberapa Fakta-fakta Harga Minyak Goreng Melambung Tinggi yang Membuat Pedagang Gorengan Menjerit

Jakarta - Para pedagang kecil mulai dari gorengan, warteg, hingga nasi padang mulai menjerit. Mereka mengeluhkan melonjaknya harga minyak goreng berimbas membengkaknya modal yang mesti dikeluarkan.

Usut punya usut, kenaikan ini rupanya berkaitan dengan terjadinya krisis energi di China dan India. Kementerian Perdagangan pun sampai meminta pengusaha sawit mengurangi ekspor CPO dan memasok kebutuhan dalam negeri.

Berikut fakta-fakta di balik meroketnya harga minyak:


Lonjakan Harga Minyak Imbas Krisis Energi di China dan India


Pedagang gorengan ikut terdampak krisis energi di China dan India. Untuk memasok kebutuhan energi di dua negara itu, ekspor minyak sawit mentah atau CPO (Crude Hand Oil) dari Indonesia melonjak.

Hal itu disinyalir jadi penyebab seretnya pasokan di dalam negeri, yang membuat harga minyak goreng melonjak. Harga minyak goreng dalam kemasan bermerek isi dua litre yang biasa dijual Rp 25.000, melonjak jadi Rp 35.000.

Demikian juga harga minyak goreng curah atau pun minyak goreng dalam kemasan sederhana. Persentase kenaikan harganya dalam sebulan terakhir antara 40 persen hingga 50 persen.

Kemendag Minta Pengusaha Sawit Pasok untuk Kebutuhan Lokal


Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta pengusaha sawit memasok kebutuhan dalam negeri, tak cuma fokus ke ekspor CPO.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan, kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri karena dipengaruhi naiknya minyak sawit mentah (crude hand oil/CPO) di pasar global. Dia meminta para pengusaha sawit mengutamakan pasokan domestik, ketimbang ekspor.

"Pada dasarnya pemerintah lebih mengutamakan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri. Ekspor tidak ditutup, tapi mengutamakan kebutuhan dalam negeri," ujarnya, Rabu (3/11).

Petani Kelapa Sawit Justru Klaim Ekspor Turun


Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengungkapkan, ekspor CPO Indonesia semakin berkurang setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan serapan CPO domestik semakin meningkat sampai 35 persen pada 2021.

"Sebetulnya pada tiga tahun terakhir, dengan kebijakan pungutan ekspor terhadap CPO mengakibatkan para eksportir berpikir dua kali untuk mengekspor CPO, sehingga lebih memilih mengolah CPO dalam negeri karena pungutan ekspor terhadap produk hilirisasi CPO lebih murah," jelas Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung, Rabu (3/11).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekerasan Masih Terjadi di Myanmar, Dilaporkan ada Sedikitnya 8 orang Meninggal Akibat Kekerasan terhadap Demonstran

Sebuah Jembatan Bernama Ngantru di Ngawi Patah, Jalur yang Menghubungkan Bojonegoro-Ngawi Terputus Total

Satgas Covid-19 Masih Terus Investigasi Sumber Penularan Kasus Omicron Pertama di Tanah Air